Cari Blog Ini

Sabtu, 14 Mei 2011

MEMBUAT SKALA PRIORITAS


Mengatur keuangan keluarga dengan penghasilan yang pas-pasan bukanlah perkara yang mudah. Banyak masyarakat kita yang terlilit utang akibat kondisi seperti itu. Bahkan anehnya lagi, orang yang berpenghasilan cukup besar pun masih banyak yang hidupnya tidak nyaman karena utangnya justru lebih besar lagi dari penghasilannya. Nah, mengapa bisa demikian?

Apabila orang berpenghasilan kecil terlilit utang, itu masih bisa dibilang wajar. Tetapi apabila orang yang berpenghasilan cukup besar terlilit utang, maka ini perkara yang perlu dianalisa. Pasti ada yang kurang tepat dalam pengelolaan keuangan.

Kesalahan yang umum dalam pengaturan keuangan keluarga adalah dalam menentukan skala prioritas. Kita sering terjepit pada kepentingan sesaat, tanpa mempertimbangkan jangka panjang. Sehingga akibatnya pendapatan kita tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan selama satu bulan. Apalagi untuk menyisihkan  keperluan masa depan atau kepentingan jangka panjang lainnya.

  
Membuat skala prioritas dalam pengaturan keuangan sangatlah penting. Karena dengan menetapkan skala prioritas dalam pengeluaran keuangan, maka pengeluran yang kurang perlu dan tidak perlu dapat ditekan. Atau bahkan bisa jadi tidak akan ada pengeluran untuk itu. Dampaknya, maka keuangan kita akan terkendali. Utang akibat kredit barang atau pinjaman pun dapat diperkecil atau diminimalkan. Pos-pos pengeluaran per bulan pun dapat terpenuhi semua.

Untuk membuat skala prioritas pengeluaran, maka kita harus menuliskan semua kebutuhan pengeluaran kita dalam satu bulan. Semuanya! Setelah itu kita rangking berdasarkan tingkat kepentingannya. Pada setiap pos pengeluaran tersebut coba tuliskan budget nominalnya. Dari situ kita dapat mengetahui sampai rangking ke berapa pendapatan kita per bulan dapat memenuhi pos-pos tersebut.

Senin, 09 Mei 2011

MENENTUKAN TARGET


Bagaimanakah cara kita untuk mewujudkan segala keinginan yang ada di pikiran kita? Caranya adalah dengan mengubah segala keinginan itu menjadi target-target. Keinginan hanyalah sekedar bayangan. Tetapi dengan mengubahnya menjadi target, maka bayangan itu berubah menjadi gambaran yang nyata. 




Mungkin saya perlu mengulangi lagi.  Sebagai contoh,  sekarang ini saya mempunyai keinginan yang banyak sekali. Pertama, saya ingin memiliki uang yang banyak. Setelah uang saya banyak, maka saya akan membangun rumah yang besar dan bagus. Kemudian saya membeli mobil untuk pulang pergi bekerja atau pelesiran. Terus membuat perusahaan yang sesuai dengan bidang yang saya sukai, misalnya pabrik makanan enak. Saya pun semakin sukses. Maka, saya pun memilih calon isteri yang cantik untuk mendampingi hidup saya. Terus dan terus, keinginan itu terus berkembang tak ada hentinya.


Anda pasti sudah dapat menduganya, bahwa apa yang saya katakan tadi hanyalah khayalan-khayalan kosong belaka. Mimpi pun tak akan seindah  itu. Tetapi, coba kita ambil pelajaran dari khayalan-khayalan tadi.


Sekali lagi. Coba kita  bangun mindset kita, yaitu merubah keinginan menjadi target. Ciptakanlah mimpi-mimpi menjadi target-target, sehingga suatu saat nanti bisa terbukti. Bukan sekedar khayalan kosong belaka. 


Target, bisa disebut juga sasaran. Atau bisa juga kita sebut tujuan atau “goal”. Ini memiliki rumusan yang disebut dengan “SMART”. SMART di sini singkatan dari spesific, measurable, acceptable, realistic, dan time schedule. Terus, apaan itu semua?


Spesific di sini mengandung arti bahwa target kita harus khusus, atau tentu, atau jelas. Tidak samar atau mengambang. Sebagai contoh, saya ingin kaya. Apakah yang disebut dengan kaya? Seperti apa? Bagaimana batasannya? Nah, jawabannya pasti panjang lebar dan tidak jelas, karena mungkin setiap orang memiliki definisi yang berbeda-beda. Tetapi, kalau Anda mengatakan saya ingin punya uang satu juta. Atau saya ingin punya rumah seharga satu miliyar. Atau saya ingin punya mobil seken seharga empat puluh juta. Nah, semua target itu jelas, bisa dituliskan atau digambarkan wujudnya.


Measurable artinya  terukur atau jelas ukurannya. Sebagai contoh, saya ingin memiliki rumah yang berharga satu milyar. Bagaimana menurut ukuran saya? Mungkin enggak? Berapa pendapatan saya per bulan? Dengan mencari tambahan di luar pekerjaan pokok, masih memungkinkan tidak? Kalau diutak-atik dengan akal sehat masih tidak bisa, berarti itu di luar ukuran saya. Maka, saya harus menurunkan nilai dari rumah yang saya butuhkan. Saya harus menentukan target rumah yang sesuai dengan kemampuan saya untuk mendapatkannya. Saya harus mengukur diri saya sendiri, mampu enggak?


Acceptable artinya dapatkah diterima target kita itu. Baik oleh diri kita sendiri, keluarga, atau lingkungan. Sebagai contoh, saya ingin memiliki peliharaan binatang liar, umpanya harimau. Sedangkan kita tinggal di lingkungan padat penduduk. Hal itu tentu bisa membahayakan para tetangga. Berarti lingkungan tidak dapat menerima target atau keinginan kita. 


Realistic artinya apakah target kita itu masuk akal atau tidak. Jika saya ingin memelihara harimau, maka untuk ukuran saya tidaklah realistis. Untuk apa saya memelihara harimau? Apakah hanya sekedar hobby memelihara binatang? Bagaimana untuk mendapatkannya? Bagaimana dengan cara merawatnya? Bagaimana untuk memberinya makan setiap sehari? Bagaimana menyediakan tempatnya supaya aman? Bagaimana mungkin? Jelas, untuk ukuran saya itu tidak masuk akal.


Time schedule artinya jangka waktu tertentu dengan batas yang jelas dan pasti untuk mencapai atau mendapatkan target atau tujuan yang diinginkan. Sebagai contohnya begini. Saya sudah menetapkan target untuk memiliki sebuah mobil seken yang harganya empat puluh jutaan. Sekali lagi, empat puluh jutaan. Itu nominal yang saya targetkan. Maka saya harus membuat jadwal untuk mendapatkan uang sebanyak itu. Berapa tahun batas waktu yang harus saya tetapkan? Umpamanya saya tetapkan empat tahun. Maka, saya bagi empat puluh juta dengan empat , hasilnya sepuluh juta. Jadi, setiap tahun saya harus mengumpulkan uang sebanyak sepuluh juta.


Kemudian saya pun berhitung lagi. Sepuluh juta saya bagi lagi dengan dua belas bulan. Hasilnya delapan ratus tiga puluh tiga ribu. Berarti setiap bulan saya harus menyisihkan uang sebanyak Rp 833.000,- khusus untuk alokasi pembelian mobil seken. Bisa tidak? Kalau gaji saya hanya bisa disisihkan Rp 500.000,- saja untuk hal itu, maka saya harus mendapatkan sisanya di luar gaji. Dengn demkian, maka saya telah menetapkan time schedule untuk memiliki mobil seken seharga empat puluh juta.




Nah, kurang lebih begitulah tips untuk  mengubah mimpi menjadi kenyataan. Mengubah keinginan-keinginan menjadi bentuk yang nyata. Mudah-mudahan ini bisa menginspirasi kita semua.

MAJEMEN KEINGINAN


Pada postingan yang lalu saya menulis artikel berjudul “Saya Ingin Kaya”. Kali ini saya menulis topik yang sedikit berkaitan dengan artikel tersebut, yaitu “Manejemen Keinginan”. Ingin apa? Coba saja simak uraiannya.

Pada tulisan yang lalu saya menulis kalimat “kalau saya ingin kaya tetapi tidak pernah menjadi kaya, maka sebenarnya saya tidak ingin kaya”. Lalu dengan mengopi kalimat tadi dan mengganti kata “kaya” menjadi “sesuatu”, maka kalimat tadi akan berbunyi “kalau saya menginginkan sesuatu tetapi tidak pernah mendapatkan sesuatu tersebut, maka sebenarnya saya tidaklah menginginkan sesuatu itu”.

Sebagai pemahamannya saya berikan contoh seperti ini. Saya ingin memiliki sebuah TV ukuran 21 inch. Tetapi pada kenyataannya saya tidak pernah memiliki TV ukuran 21 inch. Jadi, pada hakekatnya saya tidaklah menginginkan TV dengan ukuran seperti itu.

Sebagai contoh lain. Saya ingin punya rumah sejak beberapa tahun yang lalu. Tetapi sampai saat ini saya masih mengontrak. Dan mungkin akan terus mengontrak sampai batas waktu yang tidak jelas. Dengan melihat gambaran ini, pada kesimpulannya saya ini tidaklah bersungguh-sungguh ingin memiliki sebuah rumah. Andaipun hal itu  diucapkan bahwa  saya ingin mempunyai rumah, maka itu hanyalah sekedar basa-basi belaka.

Kalau kita ingin kaya, maka harus dibuktikan bahwa kita kemudian menjadi kaya. Jika kita ingin memiliki TV ukuran 21 inch, harus pula dibuktikan bahwa kemudian kita pun memiliki TV ukuran 21 inch. Bila kita ingin punya rumah, maka rumah pun harus terwujud kita miliki di kemudian hari. Itulah keinginan yang sebenarnya. Keinginan yang bukan sekedar basa-basi belaka.

Bagaimana caranya?


SAYA INGIN KAYA


Seorang motivator mengatakan bahwa kalau kita ingin kaya tetapi tidak pernah menjadi kaya, maka sebenarnya kita tidak pernah menginginkan untuk  menjadi kaya. Kata-kata itu saya renungi. Apakah benar  saya ini tidak pernah menginginkan untuk menjadi kaya? Sehingga sampai saat ini saya belum menjadi orang kaya. Perasaan,  dari dulu saya ingin kaya. Sampai saat ini pun saya masih ingin menjadi orang kaya. Siapa sih orang yang tidak ingin kaya? Kalau ada, itu hebat luar biasa! Dan kayaknya enggak ada.

Maukah menjadi orang kaya? Mau, dong! Siapa sih yang enggak mau?

Ingin menjadi orang kaya tentu sah-sah saja. Agama dan negara pun tidak pernah melarang umat atau warganya semuanya kaya raya.  Kalau bisa, monggo silakan!

 Coba bayangkan kalau semua warga negara Indonesia ini kaya raya. Mau membangun mesjid, semua umat Muslim siap menjadi donatur. Tukang kuli bangunannya diimpor dari luar negeri semua. Kualitas bangunannya nomor wahid dan anti gempa. Kubahnya terbuat dari emas murni. Keramiknya didatangkan dari Italia. Akses jalannya mulus dengan aspal hotmix nomor satu. Tempat parkirnya luas. Ibadah pun nyaman tanpa rasa khawatir kendaraan ada yang mencuri atau menjahili. Mesjid-mesjid seperti ini  tersebar sampai ke setiap pelosok wilayah negeri. Subahanallah...kita tidak perlu lagi meminta sumbangan di pinggir jalan ataupun di bis-bis.

Coba bayangkan kalau semua warga negara Indonesia ini kaya raya. Setiap menjelang hari raya pasti tidak akan timbul korban akibat berdesakan untuk mendapatkan sedekah atau angpaw. Kita semua malah  ingin bersedekah, tetapi tidak ada calon penerimanya. Karena semuanya memang sudah kaya.

Kita tidak perlu lagi mencari pekerjaan jauh-jauh ke luar negeri hanya sekedar untuk menjadi pembantu. Kita tidak perlu lagi menjadi korban majikan-majikan asing yang perilakunya aneh-aneh. Bahkan di sini kita sendiri kekurangan pembantu, sehingga kita perlu mendatangkannya dari luar negeri sana. Coba bayangkan! Hebat kan?

Tetapi wajib diingat, menjadi kaya bukanlah tujuan utama hidup manusia di alam dunia ini. Kekayaan seharusnya dijadikan sarana untuk menjadi kaya raya di alam baka sana. Janganlah demi kekayaan kita melupakan segala-galanya. Janganlah demi kekayaan kita menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. 

 Hidup kaya raya berlimpah harta memang menyenangkan. Mau apa saja bisa. Pelesiran ke luar negeri kapan saja tidak masalah. Berangkat ibadah haji setiap tahun bisa terlaksana.  Sakit  gigi tinggal terbang ke Singapur untuk berobat ke dokter ahli gigi di sana. Mau lebaran tinggal terbang ke Paris untuk membeli pakaian model terbaru di sana. Mau apa lagi ya?

Tetapi sekali lagi ingat, kekayaan bukanlah di atas segala-galanya! Ada yang lebih utama dari kekayaan atas harta benda, yaitu kaya hati.